Namun ada yang aneh namun dianggap lumrah, yakni pungutan haram di Jakarta International Container Terminal (JICT). Dari luar, hak itu tidak terlihat. Tapi di balik pintu gerbang, seorang satpam berpakaian serba putih tanpa malu menerima recehan Rp 2 ribu dari sopir keluar-masuk terminal untuk bongkar muat kontainer.
Kian ke dalam, sopir truk mesti merogoh lagi Rp 2 ribu buat suap timbangan. Kali ini penerimanya adalah pegawai JICT berseragam kuning gading. "Sampai saat ini pungutan liar hal lumrah di pelabuhan, dua pos Rp 4 ribu," kata Sahat (42 tahun), sopir jasa transportasi peti kemas saat ditemui merdeka.com di Tanjung Priok, Senin lalu.
Melintas di pos itu, para sopir memang wajib menyediakan uang receh bagi pegawai JICT berseragam lengkap tapi berlagak seperti pengemis. Meski ada satu pos tidak perlu mengeluarkan fulus karena cukup menempelkan kartu di alat pemindai, namun rupiah harus disiapkan untuk masuk ke dalam area penumpukan barang. Ini tempat penumpukan peti kemas impor.
Truk-truk itu kemudian antre menunggu giliran. Seorang operator tanggo terlihat nangkring di ketinggian 50 meter sambil memegang kemudi untuk mengarahkan alat pengangkut kontainer. Tanggo biasa disebut para sopir sebagai alat berat untuk memindahkan kontainer di tempat penumpukan. Ada 80 blok di penampungan JICT berisi ratusan kontainer setinggi empat tumpuk dari berbagai perusahaan.
Jika ingin cepat diangkut, sopir harus menaruh Rp 5 ribu ke dalam kantong plastik, letaknya di tengah antara roda dengan alat pengangkat kontainer. Operator langsung menyambut dan segera mengambil kontainer berdasarkan nomor registrasi truk di atap atau di pintu kiri dan kanan. Dengan nomor registrasi itu, komputer di hadapan operator akan melacak keberadaan kontainer harus diangkut sopir truk.
"Kode tangan mereka sudah hapal, operator akan instruksikan kita untuk taruh uang. Dari ketinggian dia pantau kita," ujarnya. Dalam lima menit, kontainer sudah berada di atas truk. Jika sopir pelit, jangan harap kontainer itu akan dimuat ke truk tronton dia kendarai. Mereka bisa menunggu hingga enam jam untuk mendapat layanan.
Pungutan liar tidak berhenti sampai di situ. Sopir juga harus membayar Rp 10 ribu buat operator kontainer pabrik. "Kalau operator di pelabuhan mintanya Rp 5 ribu, tapi kalau kontainer kita ada di bawah kita harus tambah Rp 10 ribu," tutur Sahat.
Sahat menjelaskan selepas mengantar kontainer, sopir harus mengantar kontainer kosong itu ke depo kontainer ditunjuk oleh perusahaan. Di sana sopir lagi-lagi harus memberikan Rp 2 ribu untuk satpam, Rp 5 ribu buat menurunkan kontainer, dan Rp 2 ribu guna membersihkan kontainer. Padahal, kata Sahat, di depo sudah terpampang larangan menerima uang. Kenyataannya, pungutan liar di depo dan pelabuhan masih berlangsung.
Belum lagi pemerasan oleh preman di jalan dan bajing loncat di sekitar pelabuhan. Setidaknya saban tikungan harus memberikan Rp 1 ribu Polisi patroli di dalam tol kadang memberhentikan dengan alasan memeriksa kelengkapan berkas. Kalau beres, namun kotak obat atau segitiga merah nihil, mereka harus membayar sedikitnya Rp 50 ribu."Kadang upah antar Rp 70 ribu juga kepotong. Sekali anter biasanya dikasih biaya untuk solar, tol, dan lainnya, Rp 400 ribu bisa habis buat pungli doang," ujar Sahat.
Ketua Umum Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia (SBTPI) Ilhamsyah mengatakan pihaknya terus berupaya menghapus fulus haram di pelabuhan. ternyata tidak cuma sopir kena peras. Karyawan Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) mengurusi izin ekspor impor juga dikenai Rp 5 ribu buat memperoleh kartu kuning sebagai surat jalan sopir masuk pelabuhan.
Pungutan tak sah juga bermain bila pemilik telat mengambil kontainer. Karyawan EMKL harus memberi Rp 200 ribu untuk biaya pemindahan. "Itu masalah rantai pungli masih kecil-kecil, padahal banyak sekali, seperti pungli saat kontainer habis masa harinya di penumpukan," kata Ilhamsyah saat ditemui di kantornya, Jalan Jampea Raya, Tanjung Priok.
SBTPI mencatat apling tidak ada dua ribu truk terdaftar secara resmi dan bisa masuk ke pelabuhan.n Dia mengatakan para sopir harus merogoh Rp 50 ribu untuk pungutan liar dari pelabuhan hingga depo. "Kalau ditotal Rp 1 miliar per hari," ujarnya
Humas JICT Suryansyah tidak bisa berkomentar soal pungutan haram oleh pegawai JICT. "Saya mengerti. Saya sebenarnya bisa, tapi kalau saya jawab bisa habis saya."
Dengan adanya pungli tersebut meresahkan dan merugikan, malah buat perut mereka tambah buncit tapi disisi lain ada enaknya juga kalau kita punya uang.
ya istilahnya diprioritaskan dengan nambah uang lebih gitu gan. seperti contoh kasus tilang, kalau kalian lewat jalur hukum palingan kena denda dibawah 100rb dan ambil stnk di pengadilan, tapi pengadilan itu banyak banget ribetnya gan, kalau agan ada uang silahkan tebus ditempat seperti yang banyak kita kenal "uang damai" kalau di pelabuhan kan namanya aja sopir, dikasih ama perusahaan palingan dikit uang sakunya, tapi dimintain gitu sih kelewatan, sama aja itu namanya orang makan orang. tapi yah begini lah indonesia gan.
gak begini bukan indonesia namanya. selagi kalian ada uang nikmati aja hidup di indonesia selagi pemerintahannya bobrok gini, kedepannya kita gak tau siapa yang mimpin indonesia dan gimana sistemnya,apakah uang bisa dijadikan tolak ukur untuk mematikan hukum, memprioritaskan diri sendiri atau tidak. gak ada yang tau gan jadi nikmati aja dulu puas-puas
0 comments:
Post a Comment