David Pakpahan Blog ® Sebelum baca artikel ini admin ingin menjadi teman kamu dibeberapa jejaring social berikut :
Line & We Chat : georgedavid
Twitter : @davidpakpahan83
Instagram : @davidpakpahan
Skype : george.david08
Tambahkan saya yahh senang Berteman dengan anda ^^ jadi setelah promo langsung saja nih berikut ulasan topik kita ini.
Inilah nama sejumlah jalan di Jakarta yang diambil dari nama
Jawara Betawi. Misalnya nama Jalan Haji Darip di Daerah Klender menuju Bekasi
dan Jalan Sabeni di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jawara Betawi bisa disebut
jagoan, ahli atau pendekar silat.
Dengan kemampuan
silatnya itu, seorang Jawara disegani kawan ataupun lawan. Misalnya nama Haji
Darip dan Sabeni. Haji Darip, jagoan asal Klender kelahiran tahun 1900. Dia
putra pemimpin gerombolan yang terkenal, Gempur.
Dia dimitoskan punya
jimat kekebalan dan pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya. Darip
bersama gerombolan kawanya melawan pemerintah kolonial Belanda.
Sementara itu,
Sabeni, jawara asal Betawi kelahiran Kuburanlama, Tenabang tahun 1865 lalu
disegani karena kemampuan silatnya. Pemerintah kolonial Belanda kono dibuat
kerepotan dengan ulah Sabeni.
Begitu juga
pemerintah Jepang ketika menduduki Batavia. Ulah Sabeni rupanya juga membuat
geram pemerintah Jepang saat pendudukan kala itu. Karena keberanian mereka,
warga Jakarta menjadikan nama keduanya sebagai nama jalan.
Sebetulnya bukan
hanya dua nama itu, tetapi ada dua nama jawara lagi yang juga diabadikan
sebagai nama jalan karena jasa dan keunggulan mereka di bidang seni bela diri,
misal nama Jalan Haji Murtado di Koja, Jakarta Utara dan Jalan Haji Entong
Gendut yang kini di ganti Jalan Anyaman.
1. Haji Darip
Siapa tidak kenal Haji Darip. Bagi warga Betawi dia disebut
sebagai jagoan, jawara, plus pahlawan perjuangan. Tapi bagi pemerintah kolonial
waktu itu, dia dikenal sebagai bandit. Darib dengan gerombolanya mengusik
ketenangan pemerintahan Batavia.

Gembong-gembong
bandit pada saat itu turut berjuang, baik dalam LRJR maupun organisasi
perjuangan lainnya. Imam Syafe'fi alias Bang Pi'fie, gembong jawara di kawasan
Senen, misalnya. Aksi kriminalnya membuat dia kaya raya dan menjadi tuan tanah.
Ia sempat menjadi Menteri Keamanan Rakyat pada Kabinet 100 Menteri di zaman
Bung Karno. Bang Pi'fie wafat pada 1982.
Lain halnya dengan
Haji Darip, jagoan asal Klender kelahiran tahun 1900. Dia putra pemimpin
gerombolan yang terkenal, Gempur. Darip dimitoskan punya jimat kekebalan dan
pandai merekrut penjahat untuk menjadi pengikutnya. Haji Darip pernah memimpin
pemogokan buruh kereta api pada 1923.
Wilayah kekuasaan
Darip (perdikan) membentang dari Klender hingga Pulogadung; dari Jatinegara
sampai Bekasi. Setiap orang Cina, Eurasia, bahkan Eropa, jika melewati wilayah
kekuasaannya, pasti dijarah serta harus berteriak "merdeka!" dan
wajib membayar 2 gulden.
Kawanan bandit yang
"patriotis" itu juga melakukan aksi teror secara sporadis.
Pada 19 Oktober 1945,
sebanyak 68 orang serdadu Angkatan Laut Jepang dibantai di Bekasi dalam
perjalanan mereka ke Penjara Ciater. Pada 23 November 1945, sekelompok tentara
Belanda dan Inggris tewas dihajar kawanan bandit Bekasi. Untuk mengenang Darip,
kini ada sebuah nama Jalan Haji Darip di daerah Klender.
2. Jalan Sabeni
Saat ini mungkin sedikit orang mengenal nama Sabeni. Dia
jagoan silat asal Betawi kelahiran Kuburanlama, Tenabang tahun 1865 lalu. Tak
hanya pemerintah kolonial Belanda saja yang dibuat repot dengan aksi Sabeni.
Saat Jepang menduduki Batavia, ulah Sabeni rupanya juga membuat geram
pemerintah Jepang.

Konon cerita tutur
yang beredar di tengah-tengah masyarakat disebutkan, sosok Sabeni merupakan
sosok yang rendah hati. Demi memajukan kawasan Tenabang, waktu itu, Sabeni
mengajarkan ilmu silat kepada pemuda sekitar. Kegiatan ini pun membuat
pemerintah kolonial Belanda cemas dan merasa terancam dengan kehadiran Sabeni.
Hingga akhirnya
kegiatan mengajarkan ilmu silat Sabeni pun sempat dilarang.
Tak cukup di situ,
kemampuan ilmu silat yang dikuasi Sabeni rupanya pernah dijajal tentara Jepang
menduduki Indonesia. Dengan jurus andalannya, tentara Jepang dibuat tak berdaya
dan terkapar.
Apa yang dilakukan
Sabeni terhadap tentara Jepang ini mengharumkan namanya. Hingga saat wafat,
nama Sabeni akhirnya diabadikan menjadi sebuah nama jalan di daerah Tanahabang,
Jakarta Pusat.
3. Jalan H Murtadho
Haji Murtadho hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda.
Dia anak mantan lurah Kemayoran, dan tinggal di sana hingga dewasa. Murtado
adalah anak yang baik. Ia suka menolong orang yang membutuhkan.

Al kisah, konon
muncul gerombolan perampok di bawah pimpinan Warsa. Gerombolan ini mulai
mengganas di Kemayoran. Setiap malam mereka merampas harta benda penduduk.
Kadang-kadang juga melakukan pembunuhan. Murtado turut meredam aksi gerombolan
itu.
Bersama dua orang
temanya, Saomin dan Sarpin, Murtado mencari markas perampok itu di daerah
Tambun dan Bekasi, tetapi tidak ketemu. Kemudian mereka pergi ke daerah
Kerawang. Di sana gerombolan Warsa dapat dikalahkan. Warsa mati dalam
perkelahian itu.
Semua rakyat di daerah
Kemayoran berterima kasih dan merasa berhutang budi kepada Murtado. Penguasa
Belanda pun sangat menghargai jasa-jasa Murtado. Kini nama jawara berjuluk
Macan Kemayoran itu diabadikan menjadi nama sebuah Jalan.
4. Entong Gendut
Entong si jagoan (jawara) dari Condet. Terkenal amat teguh
memegang prinsip, pernah ada tawaran dari Belanda untuk menjadi raja muda di
Condet tetapi ditolak. Aksi Entong membuat Belanda geram hingga meletuslah
perang Condet.
Dia gugur ditembak
peluru Kompeni, ketika melakukan penyerbuan ke rumah tuan tanah di Kampung
Gedong. Untuk mengenang jasa Entong, nama jagoan Condet ini pernah diabadikan
menjadi nama sebuah jalan. Namun dalam perkembangan diganti menjadi Jl. Ayaman,
nama seorang tuan tanah yang pernah tinggal di tempat tersebut.
Semasa hidup dia
telah mengerjakan ibadah haji, maka nama lengkapnya Haji Entong Gendut.
Menurut berbagai
sumber, pada masa penjajahan Belanda rakyat Condet hidup dalam tekanan pihak
Kompeni dan para tuan-tuan tanah yang bermarkas di Kampung Gedang. Seluruh
tanah Condet (bahkan sampai di Tanjung Timur dan Tanjung Barat) dikuasai oleh
tuan tanah.
Rakyat diwajibkan
membayar pajak, yang ditagih oleh para mandor dan centeng tuan tanah. Pajak
(blasting) sebesar 25 sen yang harus dibayarkan setiap minggu dinilai sangat
berat oleh rakyat, karena harga beras masa itu hanya sekitar 4 sen per
kilogram. Apabila ada penduduk belum membayar blasting, maka merek dihukum
kerja paksa mencangkul sawah.
Menyaksikan semua
penderitaan rakyat itulah, timbul kemarahan dalam diri Tong Gendut. Ia
kumpulkan seluruh rakyat Condet dan mengibarkan panji perang melawan Kompeni.
Pada tanggal 5 April 1916 berkabarlah perang di Landhuis (dikenal sebagai villa
Nova) yang ditempati Lady Lollison dan para centengnya.
Entong Gendut bersama
sekitar 30 pemuda Condet menyerbu, namun setelah datang bala bantuan dari
Batavia pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. Entong Gendut meninggal
tertembus peluru Kompeni.
0 comments:
Post a Comment